JAKARTA - Melalui siaran pers pusat penerangan hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam acara musyawarah IV lembaga adat rumpun Melayu se-Sumatera, Jaksa Agung ST Burhanuddin atas nama pribadi, keluarga maupun pimpinan Kejaksaan Republik Indonesia, menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada penyelenggara, yang telah bekerja keras dan cerdas dalam menyelenggarakan kegiatan ini.
Baca juga:
Anies Baswedan di Mata Seorang Surya Tjandra
|
Jaksa Agung menuturkan, kegiatan ini harus dimaknai bukan hanya sebagai rangkaian seremonial dalam rangka menunjukan eksistensi kearifan lokal lembaga adat melayu di Jambi semata, melainkan juga sebagai wujud upaya dari segenap seperangkat kearifan lokal masyarakat adat melayu Jambi, dalam rangka memberikan sumbangsih positif, bagi pembangunan dan tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
“Oleh karenanya, saya menyambut baik penyelenggaraan kegiatan ini, dan perkenankan saya untuk memberikan “di’kit petuah” dengan Judul PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT DALAM KERANGKA RESTORATIVE JUSTICE, ” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menjelaskan Kejaksaan Republik Indonesia, merupakan lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, khususnya di bidang penuntutan serta wewenang lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara merdeka dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengatur kewenangan Kejaksaan dalam bidang hukum pidana antara lain:
• Melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim, dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
• Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; serta
• Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, melakukan mediasi penal dan lain-lain.
Jaksa Agung mengatakan kewenangan Kejaksaan di bidang penegakan hukum pidana tersebut, harus mampu mewujudkan cita dan tujuan hukum yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat, bangsa dan negara.
“Untuk itu, guna mencapai dan menyeimbangkan ketiga tujuan hukum tersebut, kejaksaan harus mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung baik dalam hukum tertulis yang berlaku, maupun hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang, di tengah masyarakat secara dinamis, ” ujar Jaksa Agung.
Selanjutnya, Jaksa Agung mengatakan fokus pembangunan hukum di Indonesia saat ini sudah mengarah pada upaya meninggalkan paradigma penegakan hukum pidana yang bersifat retributif, dan menuju ke arah paradigma hukum yang bersifat restoratif dan rehabilitatif. Pergeseran paradigma tersebut, menjadi tepat untuk didorong oleh Kejaksaan, dalam korelasinya dengan fungsi Jaksa selaku dominus litis atau pengendali perkara.
“Kejaksaan sebagai pengendali perkara, mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak, ” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menjelaskan Kejaksaan harus mampu menyeimbangkan antara aturan yang berlaku, dengan interpretasi hukum yang bertumpu pada tujuan kemanfaatan. Artinya, suatu perkara jika diajukan ke Pengadilan, tidak hanya semata-mata berdasarkan pelanggaran aturan hukum yang berlaku, namun juga difokuskan pada kemanfaatannya bagi masyarakat.
Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang mengatur bahwa “jaksa melakukan penuntutan Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat”.
“Kita harus menggali hukum dan keadilan yang hidup di tengah masyarakat, karena saya melihat hukum sebagai sebuah kaidah sosial, tidak lepas dari nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, ” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan hukum hadir dalam rangka mengatur hidup masyarakat, karena hukum lahir dan ada karena masyarakat. Hukum yang baik, adalah hukum yang merepresentasikan rasa keadilan serta nilai-nilai sosial, etika, dan budaya masyarakat itu sendiri. Ketika hukum itu terpisah atau jauh dari masyarakatnya, maka hukum tersebut dipastikan akan tidak selaras dengan masyarakatnya. Kondisi tersebut, bagi Kejaksaan adalah sebuah kegagalan hukum.
Oleh karena itu, lanjut Jaksa Agung, Kejaksaan berupaya mengembalikan hukum agar sesuai dengan nilai luhur, budaya, dan sosial masyarakat sekaligus juga berupaya menggali hukum dan keadilan masyarakat, dengan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan oleh Kejaksaan dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tersebut, memiliki ciri khas tersendiri yaitu keadilan restoratif yang menitik beratkan pada upaya memperbaiki keadaan yang timbul akibat adanya sebuah perbuatan pidana, dengan fokus pada pemenuhan keadilan bagi korban tindak pidana, dalam rangka memperbaiki atau merestorasi keadaan korban seperti kepada keadaan semula, sekaligus juga turut memperhatikan aspek kemanusiaan pelaku, serta mengakomodir rasa keadilan masyarakat, ” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menyampaikan Kejaksaan hadir mengambil posisi ditengah-tengah, antara pelaku, korban dan masyarakat secara proporsional, sehingga diharapkan akan tercipta pemulihan keadilan yang utuh diantara para pihak.
Pada hakikatnya, Jaksa Agung menyampaikan keadilan restoratif atau RJ merupakan budaya bangsa yang tercermin dari nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kedua yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan untuk diperlakukan sama dimuka hukum, sekaligus cerminan dari Sila Keempat, dimana nilai-nilai keadilan diperoleh melalui musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian masalah.
“RJ yang diterapkan oleh Kejaksaan menjadi begitu istimewa, karena spiritnya selalu berupaya melibatkan unsur kebudayaan atau kearifan lokal masyarakat, khususnya masyarakat adat dan hukum adat dalam pelaksanaannya, ” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menjelaskan pelibatan unsur kearifan lokal masyarakat adat dan hukum adat di dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, sejalan dengan politik hukum bangsa yang mengakui dan menghormati seluruh tatanan dan institusi masyarakat adat pada Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
“Kemudian untuk mengoptimalisasi pelibatan unsur kearifan lokal masyarakat adat, dalam setiap upaya perdamaian dengan pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan oleh Kejaksaan, maka dibentuklah wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ, ” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai kearifan lokal masyarakat adat, serta menghidupkan kembali pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa, dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif.
“Rumah RJ bahkan dapat disinergikan dengan wadah kelembagaan adat, yang eksis di dalam suatu komunitas adat tertentu. Saya memberikan contoh misalkan di Tanah Pilih Pesako Betuah ini, pelaksanaan RJ dengan wadah Rumah RJ dapat berkolaborasi dengan keberadaaan Lembaga Adat Melayu Jambi yang diakui sebagai bagian dari sistem keorganisasian masyarakat, yang berada di bawah naungan Pemerintah Kota Jambi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi Nomor 5 Tahun 2007 tentang Adat Melayu Jambi, ” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menyampaikan keberadaan Lembaga Adat Melayu Jambi yang memegang teguh Seloko adat istiadat, merupakan sebuah lembaga yang berperan penting dalam membina dan menjaga kelestarian adat istiadat Melayu Jambi.
“Sepadi sumbing sebiras, abislah dek canai dengan gerindo”. Salah satu pesan Seloko yang bermakna perselisihan kecil jangan diperbesar dan hendaklah diakhiri dengan bermanfaat secara kekeluargaan. Falsafah ini sejalan dengan semangat dari RJ yang berupaya mendamaikan perselisihan yang muncul ditengah masyarakat, dengan cara memberikan kesempatan bagi korban, pelaku beserta pihak-pihak terkait untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan diantara mereka, ” ujar Jaksa Agung.
Sekali lagi, Jaksa Agung menekankan bahwa penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan hukum yang dapat memberikan suatu kemanfatan, dan menghadirkan keadilan subtantif yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pernyataan disampaikan oleh Jaksa Agung pada Acara Penganugerahan Gelar Adat Melayu Jambi dan Musyawarah Wilayah IV Lembaga Adat Rumpun Melayu se-Sumatra Tahun 2022 pada Sabtu 27 Agustus 2022. (Tim)